Kamis, 30 April 2015

Permasalahan Perbatasan di Indonesia


Pada tugas softskill kali ini, saya akan menuliskan tentang permasalahan perbatasan di indonesia. Sebelum kita membahasnya lebih lanjut kita harus mengetahui apa yang di maksud dengan wilayah perbatasan.  Wilayah Perbatasan adalah wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan atau Kecamatan yang bagian wilayahnya secara geografis bersinggungan langsung dengan garis batas antar negara baik di darat, laut, dan atau udara.
Permasalahan perbatasan di daerah jumlahnya tidak sedikit. Katakan seperti batas Kabupaten Halmahera Barat dan Utara di Ternate, Pulau Berhala di Jambi, Kota Padangsidempuan, Kota Bukit Tinggi dengan kabupatennya di Sumatera; Kota Balikpapan dengan Kabupaten Paser Penajam Utara di Kalimantan dan masih banyak lagi. Beberapa di antaranya sudah menjadi konflik terbuka, tetapi banyak pula yang bagai "asap dalam sekam". Secara teori cara menyelesaikan masalah batas daerah seperti itu tidaklah susah. Pertama, dasar hukumnya jelas. UU No 32/2004 dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak menentukan batas yang sebenarnya di lapangan adalah Menteri Dalam Negeri. Kedua, Depdagri mempunyai Tim PPBD (Penetapan dan Penegasan Batas Daerah) Pusat dan Daerah. Keanggotaannya terdiri atas Departemen Teknis dan Hukum yang terkait batas daerah, seperti Bakosurtanal, Topografi TNI-AD, Jawatan Hidro Oseanografi TNI-AL, Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, BPN, dan lain-lain sesuai kebutuhan. Artinya, sejauh hal tersebut menyangkut teknis dan hukum dapat dipercaya, pertimbangannya pasti profesional. Jadi, kalau selama ini banyak batas antardaerah yang tidak bisa diselesaikan, persoalannya pastilah bukan pada kedua aspek tersebut, tetapi pada aspek lain, yakni kondisi "sosial" yang melatarbelakangi masalah batas daerah.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan (archipellagic state) dengan 17.508 pulau. Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun laut. Negara kepulauan Indonesia berbatasan langsung dengan 10 (sepuluh negara). Di darat, Indonesia berbatasan dengan tiga negara, yaitu : Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Sedangkan di wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu : India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena merupakan daerah yang rawan keamanan telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan.
Selama beberapa puluh tahun ke belakang masalah perbatasan memang masih belum mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. Dengan adanya usaha dan kebijakan pemerintah dalam percepatan pembangunan perbatasan maka pembangunan daerah perbatasan selama ini merupakan salah satu kawasan yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara khusus dalam berbagai bidang pembangunan di Indonesia khususnya daerah perbatasan yang berada di Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan Daerah Perbatasan memiliki permasalahan yang kompleks dalam penanganannya.

Permasalahan pembangunan kawasan perbatasan selama ini pada umumnya adalah:
1.
Permasalahan politik
2. Permasalahan ekonomi
3. Permasalahan ideologi
4. Permasalahan sosial budaya

Berikut ini adalah kondisi perbatasan yang masih sering menjadi permasalahan :
1.      Kawasan Perbatasan Darat di Pulau Kalimantan
Secara administratif, kawasan perbatasan darat Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).
Garis perbatasan darat di Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Sarawak Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah pilar batas yang ada hingga tahun 2007 secara keseluruhan berjumlah 9.685 buah, terdiri dari pilar batas tipe A sebanyak 4 unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe C sebanyak 225 unit dan tipe D sebanyak 9438 unit. Kondisi tugu batas pada umumnya masih memprihatinkan dan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan panjang garuis perbatasan yang ada.
Berdasarkan perjanjian Lintas Batas antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara keseluruhan telah disepakati sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point) di kawasan ini. Hingga tahun 2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas resmi yaitu di Entikong, kabupaten Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu). Adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan Malaysia di kawasan ini menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi.
Dari sisi keamanan, kawasan ini didukung oleh 26 pos pengamanan perbatasan (Pos Pamtas) yang diisi oleh aparat militer. Sarana prasarana keamanan dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat diperlukan, karena kawasan ini dicirikan oleh tingginya kegiatan-kegiatan ilegal sekitar di garis perbatasan, dalam bentuk pembalakan liar, penyelundupan barang, tenaga kerja ilegal, dan sebagainya.
Potensi sumberdaya alam wilayah perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, taman nasional, dan danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam (ekowisata). Beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun yang bekerjasama dengan perkebunan asing yang umumnya berasal Malaysia. Namun demikian secara umum infrastruktur sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana prasarana penunjang wilayah, masih memerlukan banyak peningkatan. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kawasan ini masih relatif tertinggal pembangunannya.

2.      Kawasan perbatasan Darat di Papua
Secara administratif, kawasan perbatasan darat di Papua berada di Provinsi Papua, terdiri dari lima kabupaten/kota yaitu : Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Marauke.
Garis Perbatasan darat di Papua yang berbatasan dengan PNG secara keseluruhan memiliki panjang 760 kilometer, memanjang dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di wilayah perbatasan Papua yang terbentang dari utara di Jayapura sampai ke bagian selatan di wilayah Marauke sangat terbatas dan dengan kondisinya sangat memprihatinkan. Jumlah tugu utama (MM) yang tersedia hanya 52 buah, sedangkan tugu perapatan sejumlah 1792 buah.
Kawasan ini juga dicirikan oleh adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan PNG yang menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi. Namun demikian, hingga tahun 2007, pintu/pos perbatasan resmi hanya terdapat di Skouw, Distrik Muara Tami (Kota Jayapura) dan di Distrik Sota (Kabupaten Merauke).
Kawasan perbatasan di Papua terdiri dari areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional. Secara fisik sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit yang sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda empat dan roda dua, satu-satunya sarana perhubungan yang dapat menjangkau adalah dengan pesawat udara atau helikopter. Meski demikian, jika dibandingkan dengan PNG, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia di kawasan perbatasan masih relatif lebih baik.

3.      Kawasan Perbatasan Darat di Nusa Tenggara Timur
Kawasan Perbatasan Negara dengan Negara Timor Leste di NTT merupakan wilayah Perbatasan Negara yang terbaru mengingat Timor Leste merupakan negara yang baru terbentuk dan sebelumnya adalah merupakan salah satu dari propinsi di Indonesia. Panjang garis perbatasan darat Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste adalah 268,8 kilometer.
Khusus perbatasan pada wilayah enclave Oekusi dimana sesuai dengan perjanjian antara pemerintah Kolonial Belanda dan Portugis tanggal 1 Oktober 1904 perbatasan antara Oekusi – Ambeno wilayah Timor-Timur dengan Timor Barat dimulai dari Noel Besi sampai muara sungai (Thalueg) dengan panjang 119,7 kilometer. Perbatasan dengan Australia terletak di dua kabupaten yaitu Kupang dan Rote Ndao yang umumnya adalah wilayah perairan laut Timor dan khususnya di Pulau Sabu.
Kondisi wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur, secara umum masih belum berkembang dengan sarana dan prasarananya yang masih bersifat darurat dan sementara. Meskipun demikian relatif lebih baik dibandingkan dengan di wilayah Timor Leste. Di wilayah perbatasan ini sudah berlangsung kegiatan perdagangan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor Leste dengan nilai jual yang relatif lebih tinggi.

4.      Kawasan Perbatasan Laut dan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Kondisi perbatasan laut yang terdiri dari wilayah laut yang berbatasan dengan negara lain beserta 92 pulau-pulau kecil terluar sebagai lokasi titik pangkal hingga saat ini masih memerlukan perhatian khusus. 92 Pulau Kecil Terluar ini tersebar di 19 Provinsi, dan 40 Kabupaten.
Masih banyak segmen garis-garis batas laut yang belum disepakati antara RI dengan negara tetangga, baik batas landas kontinen, bataslaut teritorial, maupun ZEE . Hal ini berpotensi menjadi akar sengketa ekonomi dan kedaulatan dengan negara tetangga jika tidak dikelola dengan baik.
Perbatasan laut terdiri dari Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Batas Laut Teritorial berhubungan dengan kepastian garis batas di laut, Batas Landas Kontinen berhubungan dengan hak atas pemanfaatan sumber daya alam nonhayati di dasar laut, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif berhubungan dengan hak atas pemanfaatan sumber daya perikanan. Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral.

Pembangunan daerah perbatasan harus dilaksanakan hal ini dikarenakan menyangkut masalah kedaulatan dan harga diri bangsa. Oleh karenanya penanganan dan pembangunan daerah perbatasan perlu dilakukan secara komprehensif dalam arti tidak hanya melalui pendekatan kesejahteraan, akan tetapi juga dilakukan dengan pendekatan keamanan. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan komitmen, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi/kabupaten untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai beranda depan bangsa. Pemberdayaan masyarakat dan kebijakan tingkat lokal merupakan kunci sukses dalam pembangunan daerah perbatasan. 

Referensi :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar