Pada tugas softskill kali ini, saya akan menuliskan
tentang permasalahan perbatasan di indonesia. Sebelum kita membahasnya lebih
lanjut kita harus mengetahui apa yang di maksud dengan wilayah perbatasan. Wilayah Perbatasan adalah wilayah
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan atau Kecamatan yang bagian wilayahnya secara
geografis bersinggungan langsung dengan garis batas antar negara baik di darat,
laut, dan atau udara.
Permasalahan perbatasan di
daerah jumlahnya tidak sedikit. Katakan seperti batas Kabupaten Halmahera Barat
dan Utara di Ternate, Pulau Berhala di Jambi, Kota Padangsidempuan, Kota Bukit
Tinggi dengan kabupatennya di Sumatera; Kota Balikpapan dengan Kabupaten Paser
Penajam Utara di Kalimantan dan masih banyak lagi. Beberapa di antaranya sudah menjadi konflik terbuka,
tetapi banyak pula yang bagai "asap dalam sekam". Secara teori cara
menyelesaikan masalah batas daerah seperti itu tidaklah susah. Pertama, dasar
hukumnya jelas. UU No 32/2004 dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak
menentukan batas yang sebenarnya di lapangan adalah Menteri Dalam Negeri. Kedua,
Depdagri mempunyai Tim PPBD (Penetapan dan Penegasan Batas Daerah) Pusat dan
Daerah. Keanggotaannya terdiri atas Departemen Teknis dan Hukum yang terkait
batas daerah, seperti Bakosurtanal, Topografi TNI-AD, Jawatan Hidro Oseanografi
TNI-AL, Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, BPN, dan lain-lain sesuai
kebutuhan. Artinya, sejauh hal tersebut menyangkut teknis dan hukum dapat
dipercaya, pertimbangannya pasti profesional. Jadi, kalau selama ini banyak
batas antardaerah yang tidak bisa diselesaikan, persoalannya pastilah bukan
pada kedua aspek tersebut, tetapi pada aspek lain, yakni kondisi
"sosial" yang melatarbelakangi masalah batas daerah.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan (archipellagic state)
dengan 17.508 pulau. Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga,
baik di darat maupun laut. Negara kepulauan Indonesia berbatasan langsung dengan
10 (sepuluh negara). Di darat, Indonesia berbatasan dengan tiga negara, yaitu :
Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor
Leste. Sedangkan di wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu :
India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,
Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini.
Sebagian besar wilayah
perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan
prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa daerah perbatasan
merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena merupakan daerah yang
rawan keamanan telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih
mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Hal ini
menyebabkan wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh
dinamika pembangunan.
Selama beberapa puluh tahun ke belakang masalah
perbatasan memang masih belum mendapat perhatian yang cukup serius dari
pemerintah. Hal ini tercermin dari
kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih
mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan
potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil,
terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
Dengan adanya usaha dan kebijakan pemerintah dalam percepatan pembangunan
perbatasan maka pembangunan daerah perbatasan selama ini merupakan salah satu
kawasan yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara khusus dalam
berbagai bidang pembangunan di Indonesia khususnya daerah perbatasan yang
berada di Kalimantan Timur. Hal ini dikarenakan Daerah Perbatasan memiliki
permasalahan yang kompleks dalam penanganannya.
Permasalahan pembangunan kawasan perbatasan selama ini pada umumnya
adalah:
1. Permasalahan politik
2. Permasalahan ekonomi
3. Permasalahan ideologi
4. Permasalahan sosial budaya
1. Permasalahan politik
2. Permasalahan ekonomi
3. Permasalahan ideologi
4. Permasalahan sosial budaya
Berikut ini
adalah kondisi perbatasan yang masih sering menjadi permasalahan :
1.
Kawasan Perbatasan Darat di Pulau Kalimantan
Secara administratif, kawasan
perbatasan darat Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten,
yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan
Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).
Garis perbatasan darat di
Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Sarawak
Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah pilar batas yang ada hingga tahun 2007 secara
keseluruhan berjumlah 9.685 buah, terdiri dari pilar batas tipe A sebanyak 4
unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe C sebanyak 225 unit dan tipe D sebanyak
9438 unit. Kondisi tugu batas pada umumnya masih memprihatinkan dan jumlahnya
masih kurang dibandingkan dengan panjang garuis perbatasan yang ada.
Berdasarkan perjanjian
Lintas Batas antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara keseluruhan telah
disepakati sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point) di kawasan ini. Hingga tahun 2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas
resmi yaitu di Entikong, kabupaten Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas
Hulu). Adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan
Malaysia di kawasan ini menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan
barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum
resmi.
Dari sisi keamanan, kawasan
ini didukung oleh 26 pos pengamanan perbatasan (Pos Pamtas) yang diisi oleh
aparat militer. Sarana prasarana keamanan dalam jumlah dan kualitas yang
memadai sangat diperlukan, karena kawasan ini dicirikan oleh tingginya
kegiatan-kegiatan ilegal sekitar di garis perbatasan, dalam bentuk pembalakan
liar, penyelundupan barang, tenaga kerja ilegal, dan sebagainya.
Potensi sumberdaya alam wilayah
perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi,
terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, taman nasional, dan
danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam
(ekowisata). Beberapa areal hutan
tertentu yang telah dikonversi tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan
perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun yang
bekerjasama dengan perkebunan asing yang umumnya berasal Malaysia. Namun
demikian secara umum infrastruktur sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam
aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana prasarana penunjang wilayah, masih
memerlukan banyak peningkatan. Jika dibandingkan dengan negara tetangga
Malaysia, kawasan ini masih relatif tertinggal pembangunannya.
2.
Kawasan perbatasan Darat di Papua
Secara administratif, kawasan
perbatasan darat di Papua berada di Provinsi Papua, terdiri dari lima kabupaten/kota
yaitu : Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang,
Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Marauke.
Garis Perbatasan darat di Papua
yang berbatasan dengan PNG secara keseluruhan memiliki panjang 760 kilometer,
memanjang dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach,
Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini
ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada
tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di wilayah perbatasan Papua yang
terbentang dari utara di Jayapura sampai ke bagian selatan di wilayah Marauke
sangat terbatas dan dengan kondisinya sangat memprihatinkan. Jumlah tugu utama
(MM) yang tersedia hanya 52 buah, sedangkan tugu perapatan sejumlah 1792 buah.
Kawasan ini juga dicirikan oleh
adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan PNG
yang menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat
tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi. Namun demikian,
hingga tahun 2007, pintu/pos perbatasan resmi hanya terdapat di Skouw, Distrik
Muara Tami (Kota Jayapura) dan di Distrik Sota (Kabupaten Merauke).
Kawasan perbatasan di Papua
terdiri dari areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman
nasional. Secara fisik sebagian
besar wilayah perbatasan di Papua terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit yang
sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda empat dan roda dua, satu-satunya
sarana perhubungan yang dapat menjangkau adalah dengan pesawat udara atau
helikopter. Meski demikian, jika dibandingkan dengan PNG, kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat Indonesia di kawasan perbatasan masih relatif lebih baik.
3.
Kawasan Perbatasan Darat di Nusa Tenggara Timur
Kawasan Perbatasan Negara
dengan Negara Timor Leste di NTT merupakan wilayah Perbatasan Negara yang
terbaru mengingat Timor Leste merupakan negara yang baru terbentuk dan
sebelumnya adalah merupakan salah satu dari propinsi di Indonesia. Panjang garis
perbatasan darat Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste adalah 268,8
kilometer.
Khusus perbatasan pada wilayah
enclave Oekusi dimana sesuai dengan perjanjian antara pemerintah Kolonial Belanda
dan Portugis tanggal 1 Oktober 1904 perbatasan antara Oekusi – Ambeno wilayah
Timor-Timur dengan Timor Barat dimulai dari Noel Besi sampai muara sungai
(Thalueg) dengan panjang 119,7 kilometer. Perbatasan
dengan Australia terletak di dua kabupaten yaitu Kupang dan Rote Ndao yang
umumnya adalah wilayah perairan laut Timor dan khususnya di Pulau Sabu.
Kondisi wilayah perbatasan di
Nusa Tenggara Timur, secara umum masih belum berkembang dengan sarana dan
prasarananya yang masih bersifat darurat dan sementara. Meskipun demikian relatif lebih baik dibandingkan
dengan di wilayah Timor Leste. Di wilayah perbatasan ini sudah berlangsung
kegiatan perdagangan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor
Leste dengan nilai jual yang relatif lebih tinggi.
4.
Kawasan Perbatasan Laut dan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Kondisi perbatasan laut yang
terdiri dari wilayah laut yang berbatasan dengan negara lain beserta 92
pulau-pulau kecil terluar sebagai lokasi titik pangkal hingga saat ini masih
memerlukan perhatian khusus. 92 Pulau Kecil
Terluar ini tersebar di 19 Provinsi, dan 40 Kabupaten.
Masih banyak segmen
garis-garis batas laut yang belum disepakati antara RI dengan negara tetangga,
baik batas landas kontinen, bataslaut teritorial, maupun ZEE . Hal ini
berpotensi menjadi akar sengketa ekonomi dan kedaulatan dengan negara tetangga
jika tidak dikelola dengan baik.
Perbatasan laut terdiri dari
Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE). Batas Laut Teritorial
berhubungan dengan kepastian garis batas di laut, Batas Landas Kontinen
berhubungan dengan hak atas pemanfaatan sumber daya alam nonhayati di dasar
laut, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif berhubungan dengan hak atas pemanfaatan
sumber daya perikanan. Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan
cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut,
sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral.
Pembangunan
daerah perbatasan harus dilaksanakan hal ini dikarenakan menyangkut masalah
kedaulatan dan harga diri bangsa. Oleh
karenanya penanganan dan pembangunan daerah perbatasan perlu dilakukan secara
komprehensif dalam arti tidak hanya melalui pendekatan kesejahteraan, akan
tetapi juga dilakukan dengan pendekatan keamanan. Oleh karena itu, diperlukan
keseriusan dan komitmen, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
provinsi/kabupaten untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai beranda depan
bangsa. Pemberdayaan masyarakat dan kebijakan tingkat lokal merupakan kunci
sukses dalam pembangunan daerah perbatasan.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar